BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebisingan merupakan sebuah bentuk energy yang bila tidak
disalurkan pada tempatnya akan berdampak serius bagi kesehatan manusia dan
lingkungan. upaya pengawasan dan pengendalian kebisingan menjadi faktor yang menentukan kualifikasi suatu
perusahaan dalam menangani masalah lingkungan yang muncul. Kebisingan merupakan salah satu aspek lingkungan yang perlu diperhatikan. Karena termasuk polusi yang
mengganggu dan bersumber pada suara/bunyi. Oleh karena itu bila bising tidak dapat dicegah atau dihilangkan, maka yang dapat
dilakukan yaitu mereduksi dengan melakukan pengendalian melalui berbagai macam
cara.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1
Apa definisi kebisingan?
1.2.2
Bagaimana Sifat kebisingan dan
Sumber Bunyi?
1.2.3
Apa saja Jenis-jenis Kebisingan?
1.2.4
Bagaimana Pengukuran Kebisingan?
1.2.5 Bagaimaa Nilai
ambang batas kebisingan dan Standar Kebisingan?
1.2.6 Apa Pengaruh Kebisingan?
1.2.7 Bagaimana Pengendalian Kebisingan?
1.3. Tujuan
1.3.1 Mengetahui definisi kebisingan
1.3.2
Mengetahui Sifat kebisingan dan Sumber
Bunyi
1.3.3 Mengetahui Jenis-jenis Kebisingan
1.3.4 Mengetahui Pengukuran Kebisingan
1.3.5 Mengetahui Nilai ambang batas kebisingan dan
Standar Kebisingan
1.3.6 Mengetahui Pengaruh Kebisingan
1.3.7 Mengetahui Pengendalian Kebisingan
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kebisingan
Kebisingan pada
lingkungan dapat bersumber dari suara kenderaan bermotor, suara mesin-mesin
industri dan sebagainya. Keputasan Menteri Negara lingkungan hidup
No.32Kep-48/MENLH/11/1996, tentang baku tingkat Kebisingan menyebutkan: “
kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam
tingkat dan waktu tertuntu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
manusia dan kenyamanan lingkungan” Berikut ini definisi kebisingan menurut para
ahli:
Menurut Doelle (1993): “suara atau bunyi secara fisis
merupakan penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam medium elastis
seperti misalnya udara. Secara fisiologis merupakan sensasi yang timbul sebagai
akibat propagasi energi getaran dari suatu sumber getar yang sampai ke gendang
telinga.”
Menurut Patrick (1977): “kebisingan dapat pula diartikan
sebagai bentuk suara yang tidak sesuai dengan tempat dan waktunya.”Menurut
Prabu, Putra (2009) bising adalah suara yang mengganggu
Menurut Ikron I Made Djaja, Ririn A.W, (2005) bising adalah
bunyi yang tidak dikehendaki yang dapat mengganggu dan atau membahayakan
kesehatan.
Dari pengertian diatas terlihat bahwa kebisingan terjadi bila
ada bunyi dilingkungan. Terdaat 2 hal yang mempengaruhi kualitas bunyi yaitu
frekuensi dan intensitas. Dalam hal ini, frekuensi merupakan jumlah getaran
yang sampai ditelingasetiap detiknya. Sedangkan intensitas merupakan besranya
arus energi yng diterima oleh telinga manusia.
2.2 Sifat
kebisingan dan Sumber Bunyi
a. Sifat
Kebisingan
Sifat
dari kebisingan antara lain (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003):Kadarnya
berbeda;Jumlah tingkat bising bertambah, maka gangguan akan bertambah
pula;Bising perlu dikendalikan karena sifatnya mengganggu.
b. Sumber
Bunyi
Bunyi
yang menimbulkan kebisingan disebabkan oleh sumber suara yang bergetar. Getaran
sumber suara ini mengganggu keseimbangan molekul udara sekitarnya sehingga
molekul-molekul udara ikut bergetar. Getaran sumber ini menyebabkan terjadinya
gelombang rambatan energi mekanis dalam medium udara menurut pola ramatan
longitudinal. Rambatan gelombang diudara ini dikenal sebagai suara atau bunyi
sedangkan dengan konteks ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan gangguan
kenyamanan dan kesehatan.
Jika
dilihat di sekitar kita sumber bising sangatlah banyak. Sumber bising ialah
sumber bunyi yang kehadirannya dianggap mengganggu pendengaran baik dari sumber
bergerak maupun tidak bergerak. Umumnya sumber kebisingan dapat berasal dari
kegiatan industri, perdagangan, pembangunan, alat pembangkit tenaga, alat
pengangkut dan kegiatan rumah tangga. Di Industri, sumber kebisingan dapat di
klasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu:
1. Mesin
merupakan kebisingan yang berasal dari mesin.
2. Vibrasi,
Kebisingan yang ditimbulkan oleh akibat getaran yang ditimbulkan akibat
gesekan, benturan atau ketidak seimbangan gerakan bagian mesin. Terjadi pada
roda gigi, roda gila, batang torsi, piston, fan, bearing, dan lain-lain.
3. Pergerakan
Udara, Gas dan Cairan Kebisingan ini di timbulkan akibat pergerakan udara, gas,
dan cairan dalam kegiatan proses kerja industri misalnya pada pipa penyalur
cairan gas, outlet pipa, gas buang, jet, flare boom, dan lain-lain
2.3 Jenis-jenis
Kebisingan
Perbedaan frekuensi dan intensitas
menyebabkan adanya jenis-jenis kebisingan yang memiliki karakteristik yang
berbeda. Jenis-jenis kebisingan dapat dibedakan menjadi 4 bagian yaitu: :
1. Bising yang kontinyu
Bising dimana fluktuasi dari intensitasnya tidak lebih
dari 6 dB dan tidak putus-putus. Bising kontinyu dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
1)
Wide Spectrum adalah
bising dengan spektrum frekuensi yang luas.bising ini relatif tetap dalam batas
kurang dari 5 dB untuk periode 0.5 detik berturut-turut, seperti suara kipas
angin, suara mesin tenun.
2)
Norrow Spectrum adalah bising
ini juga relatif tetap, akan tetapi hanya mempunyai frekuensi tertentu saja
(frekuensi 500, 1000, 4000) misalnya gergaji sirkuler, katup gas.
2. Bising terputus-putus
Bising jenis ini sering disebut juga intermittent
noise, yaitu bising yang berlangsung secar tidak
terus-menerus, melainkan ada periode relatif tenang, misalnya lalu lintas,
kendaraan, kapal terbang, kereta api
3. Bising impulsif
Bising jenis ini memiliki perubahan intensitas suara
melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya
seperti suara tembakan suara ledakan mercon, meriam.
4. Bising impulsif berulang
Sama dengan bising impulsif, hanya bising ini terjadi
berulang-ulang, misalnya mesin tempa.
Berdasarkan pengaruhnya pada manusia,
bising dapat dibagi atas :
1)
Bising yang mengganggu (Irritating
noise).
Merupakan bising yang mempunyai intensitas tidak
terlalu keras, misalnya mendengkur.
2)
Bising yang menutupi (Masking
noise)
Merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas,
secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan kesehatan dan keselamatan
tenaga kerja , karena teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam dalam bising
dari sumber lain.
3)
Bising
yang merusak (damaging/injurious noise)
Merupakan
bunyi yang intensitasnya melampui Nilai Ambang Batas.Bunyi jenis ini
akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.
2.4 Pengukuran
Kebisingan
Suara atau bunyi memiliki intensitas yang berbeda,
contohnya jika kita berteriak suara kita lebih kuat dari pada
berbisik, sehingga teriakan itu memiliki energi lebih besar untuk mencapai
jarak yang lebih jauh. Unit untuk mengukur intensitas bunyi adalah
desibel (dB). Skala desibel merupakan skala yang bersifat logaritmik.
Penambahan tingkat desibel berarti kenaikan tingkat kebisingan yang cukup
besar. Contoh, jika bunyi bertambah 3 dB, volume suara sebenarnya meningkat 2
kali lipat.
Kebisingan dapat menggangu karena frekuensi dan volumenya.
Sebagai contoh, suara berfrekuensi tinggi lebih menggangu dari suara
berfrekuensi rendah. Untuk menentukan tingkat bahaya dari kebisingan, maka
perlu dilakukan monitoring dengan bantuan alat: Noise Level Meter dan Noise Analyzer, untuk mengidentifikasi paparan; Peralatan audiometric, untuk mengetes secara periodik selama paparan dan
untuk menganalisis dampak paparan pada pekerja.
Ada tiga cara atau metode yang digunakan dalam pengukuran
akibat kebisingan dilingkungan kerja.
1. Pengukuran dengan titik sampling
Pengukuran ini dilakukan bila kebisingan diduga melebihi
batas hanya pada satu atau beberapa lokasi saja. Pengukuran ini juga dapat
dilakukan untuk dapat mengevaluasi kebisingan yang disebabkan oleh suatu
peralatan sederhana misalnya kompresor/generator. Jarak pengukuran dari sumber
harus dicantumkan missalnya 3 meter dari jetinggian 1 meter. Selain itu juga
harus diperhatikan arah mikrofon alat ukur yang digunakan.
2. Pengukuran dengan peta kontur
Pengukuran dengan membuat peta kontur sangat bermanfaat dala
mengukur kebisingan, karena peta tersebut dapat menetukan gambar tentang
kondisi kebisingan dalam cakupan area. Pengukuran ini dilakukan dengan membuat
gambar isoplet pada kertas berskala yang sesuai dengan pengukurannya yang
dibuat. Biasanya dibuat kode pewarnaan untuk menggambar keadaan kebisingan
dengan intensitas dibawah 85 dBA warna orange untuk tingkat kebisingan diatas
90dBA, warna kuning untuk kebisingan dengan intensitas antara 85-90 dBA.
3. Pengukuran dengan gird
Untuk mengukur
dengan gird adalah dengan membuat contoh data kebisingan pada lokasi yang
diinginkan. Titik-titik sampling harus dibuat dengan jarak interfal yang sama
diseluruh lokasi. Jadi dalam pengukuran lokasi dibagi menjadi beberapa kotak
yang berukuran dan jarak yang sama, misalnya: 10 x 10 M. kotak tersebut
ditandai dengan batis dan kolom untuk memudahkan identitas.
Ada beberapa macam
peralatan pengukuran kebisingan, antara lain sound survey meter, sound level meter, octave band
analyzer, narrow band analyzer, dan
lain-lain. Untuk permasalahan bising kebanyakan sound level meter dan octave band analyzer sudah cukup banyak memberikan informasi.
1.
Sound
Level Meter (SLM)
SLM (gambar 2.5)
adalah instrumen dasar yang digunakan dalam pengukuran kebisingan. SLM terdiri
atas mikropon dan sebuah sirkuit elektronik termasuk attenuator,3 jaringan perespon frekuensi, skala indikator dan amplifier. Tiga jaringan tersebut distandarisasi sesuai standar
SLM. Tujuannya adalah untuk memberikan pendekatan yang terbaik dalam pengukuran
tingkat kebisingan total. Respon manusia terhadap suara bermacam-macam sesuai
dengan frekuensi dan intensitasnya. Telinga kurang sensitif terhadap frekuensi
lemah maupun tinggi pada intensitas yang rendah. Pada tingkat kebisingan yang tinggi,
ada perbedaan respon manusia terhadap berbagai frekuensi. Tiga pembobotan
tersebut berfungsi untuk mengkompensasi perbedaan respon manusia.
2.
Octave
Band Analyzer (OBA)
Bunyi yang diukur
bersifat komplek, terdiri atas tone yang berbeda-beda, oktaf yang berbeda-beda, maka nilai
yang dihasilkan di SLM tetap berupa nilai tunggal. Hal ini tentu saja tidak
representatif. Untuk kondisi pengukuran yang rumit berdasarkan frekuensi, maka
alat yang digunakan adalah OBA. Pengukuran dapat dilakukan dalam satu oktaf dengan
satu OBA. Untuk pengukuran lebih dari satu oktaf, dapat digunakan OBA dengan
tipe lain. Oktaf standar yang ada adalah 37,5 – 75, 75-150, 300-600,600-1200,
1200-2400, 2400-4800, dan 4800-9600 Hz.
2.5 Nilai
ambang batas kebisingan dan Standar Kebisingan
Nilai batas amabang kebisingan
adalah 85 dB yang ditanggap aman untuk sebagaian besar tenega kerja bila
bekerja 8 jam/hari atau 40 jam/minggu. Nilai ambang batas untuk kebisingan
ditempat kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan rata-rata yang masih
dapat diterima tenega kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang
tetap untuk waktu teus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40
jam seminggunya. Berikut ini table waktu maksimum untuk bekerja.
Table 1.2
Waktu maksimum untuk bekerja adalah
sebagai
No
|
TINGKAT KEBISINGAN (dBA)
|
PEMAPARAN HARIAN
|
1.
|
85
|
8 Jam
|
2.
|
88
|
4 Jam
|
3.
|
91
|
2 Jam
|
4.
|
94
|
1 Jam
|
5.
|
97
|
30 menit
|
6.
|
100
|
15 menit
|
Setelah pengukuran
kebisingan dilakukan, maka perlu dianalisis apakah kebisingan tersebut dapat diterima
oleh telinga. Berikut ini standar atau kriteria kebisingan yang ditetapkan oleh
berbagai pihak berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.718/Men/Kes/Per/XI/1987,tentang kebisingan yang berhubungan dengan
kesehatan.
Tabel 1.2:
Pembagian Zona Bising Oleh Menteri Kesehatan
NO
|
Zona
|
Tingkat Kebisingan (dB A)
|
|
Maksimum yang
dianjurkan
|
Maksimum yang diperbolehkan
|
||
1
|
A
|
35
|
45
|
2
|
B
|
45
|
55
|
3
|
C
|
50
|
60
|
4
|
D
|
60
|
70
|
Zona
A diperuntukan bagi tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan
kesehatan dsb, Zona B diperuntukan perumahan, tempat
pendidikan, rekreasi, dan sejenisnya, Zona C diperuntukan untuk perkantoran,
pertokoan, perdagangan, pasar, dan sejenisnya serta Zona D industri, pabrik,
stasiun kereta api, terminal bis, dan sejenisnya.
2.6 Pengaruh
Kebisingan
Pengaruh
utama dari kebisingan kepada kesehatan adalah kerusakan kepada indera-indera
pendengar. Mula-mula efek kebisingan pada pendengaran adalah sementara dan
pemulihan terjadi secara cepat sesudah pemaparan dihentikan. Tetapi pemaparan
secara terus-menerus mengakibatkan kerusakan menetap kepada indera-indera
pendengaran.
Dempak
kebisingan tergantung kepada besar tingkat kebisingan. Tingkat kebisingan
adalah ukuran energy bunyi yang dinyatakan dalam satuan desiBell (dB).
Pemantauan tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan alat sound Level Meter.
Selain
gangguan kesehatan kerusakan terhadap indera-indera pendegar, kebisingan juga
dapat menyebabkan : gangguan kenyamanan, kecemasan dan gangguan emosional,
stress, denyut jantung bertambah dan gangguan-gangguan lainnya. Secara umum
pengaruh kebisingan terhadapa masyarakat dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Ganguan
Fisiologis
Ganguan
fisiologis yang diakibatkan oleh kebisingan yakni gangguan yang langsung
terjadi pada faal manusia. Gangguan ini diantaranya:
a.
Perederan
darah terganggu oleh kerena permukaan darah yang dekat dengan permukaan kulit
menyempit akibat bising > 70 dB.
b.
Otot-otot
menjadi tegang akibat bising > 60 dB
c.
Gangguan
tidur
d.
Gangguan
pendengaran, oleh karena bunyi yang terlalu keras dapat merusak gendang
telinga.
Penerunan
daya dengar dapat dibagi menjadi 3 kategori meliputi:
1) Trauma Akustik
Trauma
akustik adalah efek dari pemaparan yang singkat terhadap suara yang keras
seperti sebuah letusan. Dalam kasus ini energi yang masuk ke telinga dapat
mencapai struktur telinga dalam dan bila melampaui batas fisiologis dapat
menyebabkan rusaknya membran thympani, putusnya rantai tulang
pendengaran atau rusak organ spirale (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
Trauma akustik adalah setiap perlukaan yamg merusak sebagian atau seluruh alat
pendengaran yang disebabkan oleh pengaruh pajanan tunggal atau beberapa pajanan
dari bising dengan intensitas yang sangat tinggi, ledakan-ledakan atau suara
yang sangat keras, seperti suara ledakan meriam yang dapat memecahkan gendang
telinga, merusakkan tulang pendengaran atau saraf sensoris pendengaran
(Prabu,Putra, 2009)
2) Temporary Threshold
Shift (TTS)/Tuli Sementara
Tuli
sementara merupakan efek jangka pendek dari pemaparan bising berupa kenaikan
ambang pendengaran sementara yang kemudian setelah berakhirnya pemaparan
bising, akan kembali pada kondisi semula. TTS adalah kelelahan fungsi pada
reseptor pendengaran yang disebabkan oleh energi suara dengan tetap dan tidak
melampui batas tertentu. Maka apabila akhir pemaparan dapat terjadi pemulihan
yang sempurna. Akan tetapi jika kelelahan melampaui batas tertentu dan
pemaparan terus berlangsung setiap hari, maka TTS secara berlahan-lahan akan
berubah menjadi PTS (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003). TTS diakibatkan
pemaparan terhadap bising dengan intensitas tinggi. Seseorang akan mengalami
penurunan daya dengar yang sifatnya sementara dan biasanya waktu pemaparan
terlalu singkat. Apabila tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup,
daya dengarnya akan pulih kembali (Prabu,Putra, 2009).
3) Permanent Threshold
Shift (PTS)/Tuli Permanen
Tuli permanen adalah kenaikan ambang
pendengaran yang bersifat irreversible sehingga tidak mungkin
tejadi pemulihan. Gangguan dapat terjadi pada syaraf-syaraf pendengaran,
alat-alat korti atau dalam otak sendiri. Ini dapat diakibatkan oleh efek
kumulatif paparan terhadap bising yang berulang.
a.
Gangguan
pencernaan
b.
Gangguan
system saraf
2. Gangguan
Psikologis
Gangguan
yang secara tidak langsung terhadap manusia dan sukar untuk diukur. Gangguan
psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, dan cepat
marah.. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat
menyebabkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, jantung, stres,
kelelahan dan lain-lain.
Bising
juga dapat berpengaruh terhadap produktifitas kerja bagi masyarakat pekerja.
Pengaruh bising terhadap produktivitas kerja yaitu:
1.
kuantitas
hasil kerja sama, kualitas berbeda bila dalam keadaan bising
2.
kerja
yang banyak menggunakan pemikiran lebih banyak terganggu dibanding dengan kerja
manual.
Selain
sisi negative berupa gangguan fisiologis dan psikologis bising juga memberikan
sisi negataif salah satunya adalah menambah produktifitas music.
2.7
Pengendalian Kebisingan
Mengingat
dampak negative dari pemaparan kebisingan bagi masyarakat, sebisa mungkin
diusahakan agar tingkat kebisingan yang memapari masyarakat lebih rendah dari
baku tingkat kebisingan. Hal ini dapat dilakukan dengan pengendalian
kebisisngan pada sumbernya, penempatan penghalang (barrier) pada jalan
transmisi ataupun proteksi pada masyarakat yang terpapar.
Pengendalian
kebisingan pada sumbernya dapat melalui pemberlakuan peraturan yang melarang
sumber bising (misalnya mesin pabrik) yang mengelurkan bunyi dengan tingkat
kebisingan yang tinggi. Penempatan penghalang (barrier) pada jalan transmisi
masih dapat dilakukan dengan membuat penghalang (barrier) pada jalan transmisi
diantara sumber bising dengan masyarakat yang terpapar. Sebagai contoh,
penanaman pohon bamboo disekitar kawasan industry dapat mereduksi bising yang
diterima masyarakat ataupun proteksi kebisingan ada masyarakat yang terpapar
dapat dilakukan pengguanaan sumbat telinga pada masyarakat yang berada dekat
kawasan industry yang menghasilkan kebisingan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi kami
tentang “Kebisingan” maka dapat kami simpulkan bahwa kebisingan adalah bunyi
yang tidak diinginkan ataupun bunyi yang tidak sesuai dengan tempat dan waktu
yang bersumber dari segala aktivitas/kegiatan manusiayangdapat berpengaruh
terhadap derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena Masyarakat yang terpapar
oleh kebisingan dapat menimbulkan gangguan kesehatan salah satunya adalah
gangguan pendengaran serta kenyamanan lingkungan, karena itu diperlukan
upaya-upaya untuk mengendalikan kebisingan yang ada dilingkungan tersebut.
3.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan
pada pembaca makalah ini yaitu kiranya pembaca makalah ini bisa mengetahui
dengan jelas tentang Perkembangan Keilmuan Promosi Kesehatan agar dapat berguna
bagi kehidupan para pembaca makalah ini, dan kiranya pembaca makalah ini bisa
mengkritik dan memperbaiki cara penulisan atau penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Darsono,
Valentinus, 1995, Pengantar Ilmu
Lingkungan. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya.
Joko, S
(Penerjemah), 1995, Deteksi Dini
Penyakit Akibat Kerja. WHO.
Kadir, sunarto,
2010, Dasar-dasar Kesehatan
Lingkungan. Gorontalo: Universitas negeri Gorontalo.
Machfoeds, ircham, 2003, Pengelolaan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja. Yogyakarta: fitramaya
Mulia, ricki,
2005, Kesehatan Lingkungan.Yogyakarta:
Grahara Ilmu.
Komentar
Posting Komentar